Manusia sebagai makhluk beragama saat ini berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan, seakan “homo homini lupus” (manusia serigala bagi manusia lain). Belakangan ini secara transparan dipertontonkan di hadapan kita, di sana sini terjadi anarkisme, pembakaran rumah ibadah, mengusir dan membunuh orang yang sedang beribadah, kekerasan terhadap pemuka agama, teroris, dan peledakan bom yang menewaskan banyak orang, kezaliman penguasa terhadap rakyatnya, rasisme, penembakan imam dan pemuka agama, pelarangan berhijab, pelarangan berpuasa dan lain sebagainya, sehingga manusia beragama haus dan dahaga terhadap perdamaian dunia. Mereka sudah cukup lama membosankan hubungan persengketaan dalam beragama.
Satu sisi, agama bisa merupakan jeritan dari manusia yang tertindas. Pada sisi lain, agama bisa juga menjadi sahabat setia dari mereka yang kesakitan, kesepian, dan yang kehilangan harga diri. Agama juga tampil dalam semangat profetis yang tegar berbicara tentang perlunya pembaruan masyarakat serta mengingatkan para penguasa untuk mengedepankan perikemanusiaan universal. Agama secara keseluruhan menampung seluruh pengalaman dialog yang berkesinambungan antara manusia dengan keabadian. Agama dalam hubungan ini tetap merupakan ruang pembebasan di mana segala harapan dan persoalan yang mereka hadapi bisa dipikirkan secara mendalam dengan menampilkan nalar kerukunan. Adakah cara yang lebih baik untuk mempersiapkan masa depan kecuali dengan nalar yang cerdik, lugas dan cerdas, tanpa pemaksaan dan kekerasan? Adakah cara yang lebih baik untuk membangun masyarakat kecuali dengan menghargai harkat dan martabat manusia dan juga menghargai hak hidup serta integritas dari keyakinan-keyakinan religius mereka? Inilah poin terpenting dalam buku ini, dan sayang jika Anda lewatkan!
Nalar Kerukunan : Merawat Keragaman Bangsa Mengawal NKRI
TGS. Prof. Dr. K.H. Saidurrahman, M.Ag; Dr. H. Arifinsyah, M.Ag.
Sosial dan Psikologi, Textbook