Islamisasi Bugis: Kajian Sastra Atas La Galigo Versi Bottinna I La DéWata Sibawa I Wé Attaweq

Islamisasi Bugis: Kajian Sastra Atas La Galigo Versi Bottinna I La DéWata Sibawa I Wé Attaweq

Andi Muhammad Akhmar

0.0

Sastra, Agama, Sosial dan Psikologi, Lainnya

Login untuk Sewa / Beli

Kedatangan Islam di kalangan orang Bugis pada masa lampau membawa dampak terhadap kehidupan bersastra. Dampak yang pertama terlihat dalam komposisi baris-baris La Galigo versi Bottinna I La Déwata Sibawa Wé Attaweq (BDA) dalam bentuk formula-formula doa dalam bahasa Arab, ayat Alquran, dan nama-nama Allah (asmaul husna). Unsur-unsur baru ini menyebabkan perubahan aturan perpuisian metrum lima atau empat suku kata setiap segmen yang sebelumnya berlaku ketat dalam La Galigo. Dampak kedua terlihat dengan munculnya sejumlah nama tokoh dalam La Galigo versi BDA yang sebelumnya tidak dikenal dalam epos La Galigo seperti Jalilullah, Nabi Adam, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad, Nabi Khaidir, dan Datu Hindi. Sejumlah tokoh Islam ini dihadirkan dalam suatu hubungan genealogi dengan tokoh dalam mitos La Galigo.

Perubahan komposisi, baik dalam bentuk penambahan dan pengurangan maupun pemutarbalikan dalam teks La Galigo versi Bottinna I La Déwata Sibawa Wé Attaweq (BDA) merupakan wujud kebebasan penyair atau penulis. Namun, kebebasan penyair tersebut tetap dalam bingkai. Bingkainya adalah (1) tema perkawinan di kalangan keturunan Batara Guru atau kerabatnya, (2) tokoh-tokohnya adalah dari kalangan dewa atau keturunannya yang berkuasa di bumi (dinasti Batara Guru), dan (3) penggunaan nama tempat yang meliputi Dunia Atas, Dunia Tengah, dan Dunia Bawah. Dengan demikian, cerita-cerita baru atau yang telah mendapatkan unsur-unsur baru tetap menjadi bagian dari warisan sastra Galigo.

Kehadiran unsur Islam dalam Galigo versi BDA tidak menggeser keberadaan kepercayaan lama, melainkan disajikan secara berdampingan. Hal seperti ini menunjukkan kreativitas penyair yang memanfaatkan sastra yang telah mapan dalam komunitas Bugis untuk misi pengislaman. Islamisasi yang menggunakan sastra sebagai medianya tersebut menggunakan pendekatan kompromis. Para penganjur Islam saat itu menyadari bahwa sangat tidak mudah untuk mengganti suatu bentuk kepercayaan yang telah lama bersenyawa dalam jiwa suatu masyarakat dan menggantinya dengan yang baru. Langkah awal islamisasi Bugis ini adalah menggeser konsep kepercayaan kepada Déwata Séuwaé (Tuhan Yang Maha Esa) dengan konsep Allah Subhanahu Wa Taala melalui ajaran-ajaran tauhid.