risis keuangan Asia yang melanda Thailand dan Indonesia melahirkan kembali praktek- praktek dan “profesi baru”. Tiga tahun sesudah itu Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya menjadi pelopor dalam menyebarkan suatu gagasan baru
di Indonesia. Pada tanggal 18 September 2001 Unika Atma Jaya menyelenggarakan seminar berjudul “Forensic Accounting ditinjau dari sudut Audit dan Hukum”.
Profesi yang lahir kembali dalam kancah krisis keuangan itu mempunyai ciri khas. Mereka adalah perpaduan antara bidang akuntansi/audit dan bidang hukum. Ini terlihat, misalnya, dalam akuntansi forensik dan praktek kepailitan di mana kedua disiplin mengemuka, dan saling isi mengisi. Pakar-pakar dari kedua bidang ini bekerja sama, baik secara formal maupun informal.
Pertanyaannya, apakah benar akuntansi forensik dan praktek (akuntansi dan hukum) kepailitan itu suatu bidang baru, yang lahir ketika kita memasuki milenium yang baru? Tentu saja tidak. Undang-undang kepailitan kita, misalnya, pada awalnya merupakan warisan era Hindia Belanda, dengan judul Faillissements-Verordening. Krisis keuangan 1997–1998 sebenarnya melahirkan kembali gagasan-gagasan lama tersebut.
Hal serupa kita jumpai dalam akuntansi forensik. BPKP berperan besar dalam bidang ini di zaman Orde Baru. Banyak di antara investigasi yang dilakukan BPKP dalam tiga dekade itu merupakan akuntansi forensik. Hanya istilahnya saja yang pada waktu itu belum digunakan. Istilah yang lebih banyak digunakan adalah investigasi (atau audit investigatif). Dengan perubahan tatanan kelembagaan, BPK pasca Orde Baru kembali berkiprah dalam akuntansi forensik beserta lembaga-lembaga lain.
Hasil dari audit investigatif dapat, tetapi tidak harus, digunakan dalam proses pengadilan atau bentuk penyelesaian hukum lainnya. Kalau sudah bersinggungan dengan bidang hukum (litigasi atau nir litigasi), istilah akuntansi forensik lebih tepat dari audit investigatif. Itulah sebabnya Penulis memilih kedua istilah ini sebagai judul buku ini.