Liberalisasi Pangan, Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO

Liberalisasi Pangan, Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO

M. Husein Sawit

0.0

Pendidikan, Bisnis dan Ekonomi, Hukum dan Politik

Login untuk Sewa / Beli

Perundingan Putaran Doha jauh berbeda dengan perundingan putaran sebelumnya, seperti Perundingan Putaran Uruguay. Dalam Putaran Doha sekarang ini, pemain dan kekuatan perundingan tidak lagi dikuasai oleh negara maju. Semata melainkan semakin diperhitungkan kekuatan negara berkembang. Negara berkembang bergabung dalam berbagai kelompok untuk memperjuangkan kepentingannya. Dengan berkelom- pok, negara berkembang dapat saling mengisi dan memperbaiki kelemahannya, sehingga negara berkembang menjadi lebih kuat. Selain itu negara berkembang banyak didukung oleh sejumlah NGO internasional, seperti Oxfam, Actionaid International, Third World Network. Mereka telah memperkuat advokasi, analisis kritis terhadap reformasi perdagangan, serta pembahasan modalitas yang diperlukan negara ber- kembang. Di antara kelompok yang negara berkembang yang menonjol adalah G-33, G-20 dan African Group.

Seperti kita ketahui, pada putaran perundingan sebelumnya pemain utama hanya dua negara yaitu AS dan UE. Dalam Perjanjian Pertanian (PP) yang berlaku sekarang ini misalnya, sejumlah pasal dan modalitasnya lebih banyak mengakomodasi- kan kepentingan kedua adi kuasa tersebut. Negara berkembang menandatangani PP itu tanpa banyak memahami konsekuensi setelahnya. Sejumlah subsidi yang amat mendis- torsi pasar, tarif yang tinggi dan hambatan non tarif lainnya masih diberikan peluang untuk diteruskan. Akhirnya membuahkan persaingan dalam perdagangan menjadi tidak fair dan tidak adil. Ketidakseimbangan dan ketidakadilan itulah yang ingin dikoreksi dalam PD sekarang ini.

Negara berkembang memperoleh perlakuan khusus, Special and Differential Treatment (SDT). Dengan itu, diharapkan negara berkembang mampu mengejar ketertinggalan dari negara maju. Ketinggalan itu tentu terkait dengan tingkat teknologi, infrastruktur, kualitas SDM, serta petani/peternak yang umumnya kecil dan miskin. Ternyata SDT itu tidak banyak membantu. Fleksibilitas reformasi perdagangan buat negara berkembang seperti yang tertuang dalam SDT, ternyata tidak dapat terealisasikan, tidak efektif seperti yang diharapkan oleh negara berkembang. SDT itu terlalu umum dan tidak terlalu mengikat, seperti bantuan teknis. Sehingga itu tidak banyak manfaatnya. Oleh karena itu, negara berkembang merancang suatu tipologi yang lebih spesifik, seperti Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM). Tipologi yang terakhir inilah yang menjadi inti yang sedang diperjuangkan oleh G-33 yang dipimpin Indonesia dalam Putaran Doha ini.Doha WTO
Negara berkembang tidak hanya dihadapkan pada masalah komersial dan perdagangan semata, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah non-trade concern, terutama ketahanan pangan, pembangunan, kemiskinan yang selalu melekat dengan petani/peternak kecil, sempit dan miskin. Ini tentu tidak mampu dipecahkan dengan memperdalam lagi liberalisasi. Dalam tataran perundingan WTO di Putaran Doha ini, sedang dirancang suatu fleksibilitas yang efektif, sehingga aspek non-komersial tersebut dapat terakomodasi dengan baik dan dapat pula dilaksanakan oleh negara berkembang. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah harus ada komitmen global! Musuh global adalah kemiskinan, kelaparan dan ketidakadilan, bukan terorisme. Itu harus diperangi secara bersama.

Tantangan dalam putaran ini adalah bagaimana membawa perundingan Doha Round, sehingga mampu mengoreksi ketidakseimbangan, dan membuat perdagangan yang lebih adil. Putaran Doha diharapkan dapat mewujudkan sebagai Putaran Pembangunan seperti yang disepakati di Doha akhir 2001, bukan dijadikan sebagai Putaran Komersial, mengabaikan pembangunan yang amat diperlukan oleh negara berkembang.