“Luwih mulyo luwih mukti. Rasane wong neng suwargo. Pitung puluh widodari. Kasur babut den cawisi. Cawisane wongkang bekti. Dawuh pengeran kang moho suci. Mukmin lanang mukmin wadon. Mukmin iku sedherek kula.”
Satria tersenyum lalu kembali meletakkan kepala di pangkuan emak. Mulai memejamkan mata saat emak mulai menyanyikan sholawat Jawa lagi. Damai yang dirasakan. Seakan tak ingin beranjak pergi. Biarlah seperti ini sampai nanti, luka di hati mengering hingga tak terasa lagi perihnya.
“Tidur ya, Le. Lupakan semua kesakitan. Masih ada hari esok juga masa depan. Bangkit dan jadilah Satria yang kuat seperti sebelumnya. Meski saat ini terpisah oleh jarak yang tak dapat ditempuh, jangan bersedih. Masih ada doa yang mampu mengobati rasa kangenmu. Doa yang kamu berikan, selalu sampai pada Emak kok, Le. Emak bisa melihat dan mendengarnya. Emak sangat bahagia.”