Menjadi anak saleh yang cerdas, taat beragama dan taat kepada orang tua, serta menjadi kebanggaan keluarga, tentu saja menjadi doa dan harapan setiap ayah dan bunda untuk anaknya. Adam Alifattah bukanlah seseorang yang dibanggakan keluarga. Meski begitu ia menyadari, tak ada orang tua yang mengharapkan hal buruk terjadi pada anaknya.
Nilai akademis Adam tak sebagus ketiga adiknya, ia harus berusaha keras belajar ketika ujian. Tak seperti adik-adiknya yang cerdas. Bahkan ia pernah tak naik kelas karena dianggap tidak cukup mampu mengejar ketertinggalannya. Diusir dari rumah karena suatu kejadian yang sama sekali bukan kehendaknya, tetapi kehendak Allah, adalah hal yang terberat terjadi dalam hidupnya. Meningggalkan keluarga secara paksa sempat membuatnya depresi. Meski begitu, pada akhirnya ada pesan cinta yang terselip dari Allah untuknya. Karena dari situlah hidupnya dimulai, dari situlah ia lebih mengenal dan dekat dengan-Nya.
Tangan Tuhan bekerja dengan indah mempertemukannya dengan kiai yang membuat dia dapat menjadi seorang hafiz Quran impian yang ditentang sang ayah, karena orang tuanya menganggap jika menjadi penghafal Alquran tak ‘kan membuat keluarga mereka berada di level kelas tinggi.
Semua terjadi atas kehendak-Nya, termasuk saat ia menemukan kesejatian rasa terhadap dia, Hawa Prilliea, putri seorang ustaz terpandang di kota dia berada.
Meski gadis itu memiliki sisi gelap sama sepertinya, gadis berhijab, pernah diam-diam menjadi remaja biasa yang gemar hura-hura, tetapi pada akhirnya memiliki visi dan misi yang sama dengannya dalam hidup. Petunjuk itu bahkan bukan datang dari kedua orang tua yang dekat dengan Allah, bahkan bukan dari orang tua yang jauh dari Allah.
Petunjuk bisa datang dari mana saja sesuai dengan kehendak-Nya. Bahkan Nabi saja tidak bisa membuat pamannya meninggal dalam iman. Mereka bersyukur, Allah masih memberikan cahaya untuknya karena satu dengan yang lain. Hingga mereka sama-sama menjadi mahluk dan hamba Allah yang menyerahkan segala sesuatunya, Atas Nama Yang Maha.