Sebagai daun yang tak lagi raib terbakar oleh darah api

Sebagai daun yang tak lagi raib terbakar oleh darah api

Adnan Guntur

0.0

Puisi

Login untuk Sewa / Beli

Dalam studi fenomenologi kita diajarkan bahwa kesadaran manusia dapat mengaburkan pandangan kita terhadap esensi manusia. Dalam kesadaran, manusia hadir dalam berbagai wujud yang dapat memanipulasi pemahaman kita tentang esensi manusia. Itu menyebabkan dalam kesadaran, pengetahuan dan pemahaman kita tentang manusia kerap kabur dan dibingungkan. Oleh karena itu, untuk menemukan esensi manusia, kita harus melampaui semua pendefinisian manusia yang pernah diberikan oleh kesadaran. Hal itu karena hanya dengan melampaui segala pendefinisian itu, lebenswelt, dunia kehidupan manusia yang paling murni, dapat diungkap dan dipahami.

Kiranya, pemahaman itulah yang menyebabkan puisi hadir di luar batas nalar atau logika manusia. Tidak ada kaidah ataupun aturan yang membatasi bagaimana sebuah stanza puisi harus dihadirkan. Penyair memiliki kebebasan mutlak atas apa yang hendak diartikulasikan dalam puisinya. Bahkan apabila antara satu diksi dengan diksi lainnya hanya akan mencipta-kan lompatan-lompatan imaji yang terkesan absurd untuk dibaca dalam satu stanza. Itu seperti yang tampak pada kutipan dari salah satu stanza yang terdapat dalam puisi karya Adnan Guntur berikut:

bahasa kita adalah impian yang dipenuhi
bayang-bayang dan tersangkut di pagar jembatan,
kaususuri sesak dada dari nama-nama
yang tertempel baja, pinggir kota yang membangkitkan
gairah binatang dalam diriku

sebuah kamar seputih dirimu mengukur jalan simpang,
di mana malam mendengar kutukan
telah membakar gagak lalu melemparkan jasadnya
di sepanjang jalan, bebulan tegak di mana
truk-truk menaiki jalan ke sorga lewat paru-parumu

Indra Tjahyadi