"Sekarang Muhtar duduk di hadapanku. Kembali memintaku untuk mau menikah dengan Muhtar. Katanya sejak jadi muridku Muhtar sudah tertarik kepadaku. Sering sekali Muhtar memperhatikanku secara diam-diam terutama kalau sedang nonton TV bareng di kontrakanku. Bahkan menambah semangat belajar ketika aku mengajar di kelas Muhtar yakni dengan hanya melihat wajahku secara langsung. Waktu itu Muhtar mengira hanya cinta monyet. Tapi setelah lulus SMA, kuliah bahkan setelah bekerja Muhtar tak dapat menghilangkan rasa cintanya kepadaku. Ketika berumah tangga pun Muhtar tetap selalu mencintaiku. Bahkan sampai sekarang. Itu pengakuan Muhtar sambil tak lepas memegang tanganku.
Aku sendiri tetap merasa bahwa Muhtar adalah muridku. Dulu dan sekarang. Bagiku tidak ada mantan murid. Tetapi Muhtar bersikeras memang dulu aku adalah guru Muhtar. Namun sekarang aku adalah kekasih Muhtar yang sejak dulu selalu kucintai dan terpatri di hatinya.
Kembali Muhtar berujar, “Bukankah pertemuan kita sekarang ini adalah kehendak Tuhan jua? Anugerah dari Allah Swt? Ayolah kita menikah?”
“Iya benar. Kalau Allah Swt. tidak mengizinkan tidak mungkin kita sekarang bertemu. Tapi untuk menikah kini aku masih belum yakin. Selain itu aku sudah sangat tua. Bahkan lebih tua darimu.”
“Aku gak peduli dengan usia. Lagian usia kita hanya terpaut tiga lima tahun. Biarin orang mau bilang apa. Ayolah! Sudah lama sekali aku menunggu dan menunggu. Sekarang kesempatan ada di hadapan kita.”"