Kata-kata terkenal dari Dr. Martin Luther King Jr pada bulan Maret 1968, hampir sebulan sebelum dia dibunuh pada tanggal 4 April, Dr. King, seorang pendeta Baptis Amerika, yang dikenal sebagai juru bicara dan pemimpin terkemuka dalam gerakan hakhak sipil di AS, mengatakan hal tersebut bukan karena dia mendukung aksi pemberontakan yang kejam, tidak, karena pada kenyataannya, dia sangat menentang berbagai Tindakan kerusuhan. Ungkapan tersebut dikatakannya karena di saat itu, bagi mereka yang hak-hak sipilnya dicabut, maka tidak ada satu tempat pun yang bisa mendengarkan suara mereka, atau bahkan mendapat perhatian, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.
Sejatinya, kita juga hidup dalam situasi minoritas yang tertindas dan ketidaksetaraan gender yang merangsek secarasistemik dan melembaga. Namun, kami percaya bahwa ada cara yang lebih bijak daripada melakukan perlawanan melalui cara-cara berkekerasan di jalanan. Kami yakin bahwa pemahaman agama dan praktik keagamaan dalam kehidupan sehari-hari dapat memainkan peran mendasar dalam meme-rangi tindak ketidakadilan. Karenanya, kami mendukung dialog tanpa kekerasan yang dibangun melalui konsensus dengan semua pemangku kepentingan. Meskipun demikian, ketika kita melihat arah Gerakan pemenuhan hak-hak sipil dari waktu ke waktu hingga saat ini, lantas, kamipun bertanya, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu kelompok minoritas dalam mengangkat suara mereka untuk melawan penindasan, intoleransi, diskriminasi, penganiayaan, pelecehan, dan lainnya, baik secara fisik maupun verbal? Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka dalam loka-karya Kelompok Kerja NICMCR tentang Gender dan Agama (Pokja Gender) pada November 2019. Bersama dengan Pokja Pendidikan Keagamaan Inklusif dan Pokja Ekologi, Pokja Gender dicetuskan pada 2018 oleh Konsorsium Belanda-Indonesia untuk Hubungan Muslim-Kristen (Netherlands-Indonesia Consortium for Muslim- Christian Relations/ NICMCR). Pokja gender bertugas mendukung Steering Committee dalam mengimplementasikan kebijakan NICMCR tentang isu-isu gender. Konsorsium adalah jaringan nonpemerintah dari universitas dan organisasi masyarakat sipil di Belanda dan Indonesia, terdiri dari cendekiawan Muslim dan Kristen, serta pemimpin agama dan praktisi. Konsorsium ini membangun pertukaran pengetahuan melalui penelitian, dialog dan kemitraan antara lembaga pendidikan dan Lembaga masyarakat sipil Indonesia dan Belanda yang berbasis agama Islam dan Kristen. Keadilan, kesetaraan, dan pembebasan dari semua belenggu yang tidak memanusiakan kelompok rentan dan marjinal menopang kerja-kerja akademik dan sosial budaya Konsorsium dan ketiga Pokjanya. Karenanya, Konsorsium menganggap penting untuk turut berkontribusi pada hubungan yang seimbang antara negara, komunitas agama, dan Masyarakat sipil.
Dalam lokakarya NICMCR di November 2019, terlihat jelas bagaimana kekuatan kajian agama, advokasi dan gerakan Kristen dan Muslim di tingkat komunitas dalam jaring an Pokja sangat menentukan arah pengembangan wacana alternatif penting untuk peningkatan peran komunitas agama. Kajian-kajian agama ini semakin memperkuat kesadaran tentang kontestasi penafsiran dan pemahaman agama, baik yang mengacu pada makna teks-teks Islam dan Kristen maupun praktik-praktik keagamaan yang dianut dalam komunitas Muslim dan Kristen. Proses akademik ini memunculkan refleksi metodologis yang dapat digunakan sebagai aset sekaligus metode alternatif pada wacana kritis dengan perspektif gender dan agama. Dengan cara ini, Pokja turut berkontribusi pada aktivisme yang dapat membawa perubahan menuju kehidupan yang lebih manusiawi, sesuai dengan ajaran Islam dan Kristen. Penanggulangan sejumlah isu kemanusiaan seperti pernikahan anak, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, kekerasan sosial dan bencana alam merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivisme ini. Sebuah aktivisme yang mewujudkan norma-norma dan nilai-nilai dasar ajaran Islam dan Kristen dan berkomitmen untuk terus-menerus menghadapi berbagai tantangannya, baik secara individu maupun kolektif.
Berbasis spirit tersebut, lokakarya menyadari bahwa kekayaan pengetahuan dan pengalaman aktivisme jaringandi dalam Pokja Gender merupakan harta penting yang harus didokumentasikan. Sebuah buku bunga rampai dipilih karena bentuknya memberi ruang hadirnya berbagai pemikiran, pendampingan, dan pengalaman advokasi yang telah dilakukan aktivis Muslim dan Kristen di Indonesia dan di Belanda.
Menyuarakan yang Tak Terdengar: Pemikiran, Agensi, dan Gerakan Perempuan Dibalik Lembar Kitab Suci
Iklilah MDF, dkk.
Lainnya