Aku menarik napas sejenak, merasakan suasana lengang yang tercipta.
“Jika ditanya mau jadi apa saya ...,” aku berhenti lagi, dengan jeda yang sebenarnya untuk meredakan buncahan semangatku sendiri. “Saya ingin menjadi inspirasi bagi Malagasy. Dengan segala hal yang bisa saya lakukan.”
Lengang hadirin tampak tegang menarik napas, terbawa emosiku.
Gadis cilik miskin dari pelosok Madagascar itu benama Mirindra. Di usianya yang ketujuh tahun, lengkap sudah kesendiriannya. Ditinggal mati ibunya, juga ditinggal ayahnya menjadi penambang batu mulia di sebuah pertambangan asing yang berjarak ratusan kilometer dari rumahnya.
Tak ada pilihan bagi ayahnya, kecuali menitipkan sekaligus menyekolahkannya di Akany Tafita, sebuah sekolah dan asrama yang menampung anak-anak miskin di sekitar perbukitan Sahasoa.
Mirindra miskin, tapi cerdas. Menguasai empat bahasa di dunia. Tumbuh dengan mimpi-mimpi yang terus-menerus dibenamkan oleh Tinah, wanita pemilik Akany Tafita, dia menjadi sangat obsesif. Lupa bahwa dia miskin, tak punya bekal apa-apa seperti yang dikatakan oleh Josse.
Oh, betulkah dia tak akan bisa mewujudkan mimpinya? Ah, sepertinya iya. Setiap pintu yang akan dia lalui tertutup semua. Lalu, untuk apa selama ini dia memeras isi kepala demi memecahkan rumus-rumus dan membaca buku-buku tebal? Untuk dilupakankah?