“Panggil aku tikus! Karena aku, ya, tikus. Siapa yang tidak ingin jadi tikus? Karena itu, panggil aku tikus saja. Kalau bisa tikus besar.”
Lalu semua orang memanggilnya tikus. Om tikus. Pak tikus. Nak tikus. Kakek tikus. Bergantung siapa yang memanggil. Dan dia bangga karena Tikus adalah simbol kebesaran. Maka, di negeri itu banyaklah orang yang ingin jadi tikus. Cita-cita mereka sama; jadi seorang tikus profesional. Sementara simbol lain menjadi tak laku. Tak ada lagi yang mau jadi kucing, kelinci, kijang, kancil, bebek, angsa, merpati, atau kupu-kupu. Paling-paling yang masih banyak digemari di bawah kredibilitas tikus adalah, anjing, srigala, harimau, babi, dan ular.
“Panggil aku tikus setelah saat ini. Saat ini adalah pembaptisan bagiku. Aku bisa kau panggil Prof, Dr. Tikus Sugiwo, M. Si. Dan cukup kau panggil aku Tikus atau Tikus Besar. Ya, Tikus Besar!” Ujarnya di atas podium, di depan para guru besar, di sebuah balairung besar.
Lalu setelah berpidato, Prof. Dr. Tikus Sugiwo, M. Si. dikerubuti para wartawan dari berbagai media, cetak maupun elektronik. Mereka layaknya semut. Dan memang mereka terkenal dengan simbol semut. Dan Tikus Sugiwo adalah gula. Tikus gula. Tikus yang bisa menjadi bahan berita yang akan menaikkan oplah media. Sudah dapat dipastikan setelah acara tersebut, nanti sore atau besok pagi koran-koran akan memampangkan tampangnya yang klimis dan berkumis tipis. Bahkan untuk media elektronik saat tersebut adalah saat on air. Peristiwa itu diliput langsung dan dinikmati oleh pemirsa seluruh negeri itu. Jadilah keuntungan berlipat-lipat uang datang bagai banjir bandang. Karena itulah, media memerlukan figur-figur tikus untuk dikultuskan, dimitoskan, dipelihara ....
“Cerita-cerita yang unik, dengan bahasa tutur yang segar, berhasil menggugah rasa kemanusiaan saya sebagai pembaca.”
Ahmadun Yosi Herfanda (Sastrawan dan Redaktur Republika)
Jangan-Jangan Kau Bukan Manusia!
M. Irfan Hidayatullah
Fiksi, Sosial dan Psikologi, Hukum dan Politik